Rabu, 21 Desember 2016

Paenibacillus Polymyxa Pengendali Hayati BLB di DIY

Ditulis Oleh : DAA. Pertiwi (POPT Ahli Muda Dinas Pertanian DIY)
Penyakit BLB / Bakteri Hawar Daun / Kresek adalah penyakit pada tanaman padi yang umumnya ditemukan di beberapa wilayah pertanaman padi di DIY pada musim hujan. Namun, akhir-akhir ini tidak hanya pada musim hujan saja penyakit ini muncul dan berkembang, bahkan sepanjang tahun selalu muncul serangan penyakit BLB dengan intensitas serangan yang bervariasi.  Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv oryzae ini, berdasarkan data yang dihimpun dari Balai Proteksi Tanaman Pertanian DIY menunjukkan bahwa serangan BLB mengalami peningkatan pada tiga tahun terakhir dan menjadi salah satu OPT utama tanaman padi di DIY, selain Penggerek Batang Padi, Tikus, Wereng Coklat dan Tungro.

Serangan penyakit BLB atau Kresek tidak dapat dianggap remeh karena dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman dan menurunkan hasil panen. Bahkan dapat menyebabkan puso karena serangan penyakit ini dapat terjadi pada berbagai fase tanaman yaitu pada fase bibit, tanaman muda hingga tua. Serangan penyakit Kresek / Hawar daun bakteri (BLB) pada tanaman padi telah meresahkan para petani kita karena banyak petani yang beranggapan bahwa penyakit ini disebabkan oleh serangga sehingga para petani menggunakan insektisida untuk mengendalikannya. Akibatnya pengendalian menjadi sia-sia karena tidak tepat sasaran. Kerugian yang ditimbulkan oleh serangan Kresek ini tidak main-main, menurut Maspary (dalam Supriyana Ir, dkk. 2013) kerugian yang ditimbulkan oleh serangan BLB / Kresek bisa mencapai 75 %.  Menurut Med and Cruz (dalam Supriyana Ir, dkk. 2013), kerugian hasil yang disebabkan oleh penyakit BLB dapat mencapai 60 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat keparahan 20 % sebulan sebelum panen, penyakit sudah mulai menurunkan hasil. Diatas keparahan itu hasil padi turun tiap kali penyakit bertambah parah sebesar 10 %. Bahkan pada varietas yang rentan dan kondisi lingkungan yang mendukung kehilangan hasil padi dapat mencapai lebih dari 70 %. Bila serangan terjadi pada fase berbunga tingkat kehilangan hasil mencapai 50 – 70 %.
Penyebaran penyakit ini terbawa oleh air, angin dan benih serta infeksi dapat terjadi melalui stomata. Perkembangan penyakit BLB / Kresek sangat dipengaruhi oleh kelembaban tinggi dan suhu rendah (20 – 220C). Itu sebabnya pada musim hujan yang hari-harinya tertutup awan, penyakit berkembang sangat baik. Selain itu, penanaman varietas peka dengan jarak tanam yang rapat, pemakaian pupuk nitrogen yang berlebihan yaitu > 300 kg urea/ha, dan pemakaian pupuk nitrogen tanpa fosfor (TSP) dan atau kalium (KCl) akan mendorong perkembangan penyaki ttersebut (Agung NK, 2012). Penularan penyakit Hawar daun bakteri ( BLB ) ini dipengaruhi oleh tiga factor utama yaitu pathogen penyebab penyakit, tanaman inang dan factor lingkungan yang mendukung.
Belum pahamnya petani tentang penyakit Kresek ini menjadi kendala untuk mengendalikannya. Berbagai cara pengendalian secara kimia dilakukan petani namun banyak yang belum mendapatkan hasil yang maksimal. Padahal ada cara organik yang sangat efektif untuk mengendalikan penyakit BLB /  Kresek ini (keefektifannya bisa mencapai 80%). Menurut Agung NK, salah satu pengendali BLB / Kresek yang telah teruji dalam berbagi demplot di daerah Banyumas adalah dengan menggunakan agensia hayati Coryne bacterium sp. atau Phaenibacillus polymyxa. Selain harganya sangat murah juga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.
Coryne bacterium sp. yang saat ini lebih dikenal dengan nama Phaenibacillus polymyxa merupakan salah satu agensia hayati yang bersifat antagonis dan dapat mengendalikan beberapa jenis penyakit tanaman. Yang paling utama adalah dapat mengendalikan penyakit BLB / Kresek pada tanaman padi yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv oryzae. Menurut Wikipedia dalam jurnal yang berjudul Phaenibacillus polymyxa, bakteri ini merupakan bakteri yang berbentuk batang dan salah satu jenis bakteri gram positif yang mampu memperbaiki Nitrogen dalam tanah. Koloninya berwarna putih kotor, dan di bawah lampu ultra violet tidak bereaksi.
Dewasa ini salah satu agensia hayati yang sangat bermanfaat dan dapat digunakan untuk pengendalian BLB / Kresek adalah Paenibacillus polymyxa, dimana bakteri ini bersifat antagonis yang dapat menekan pathogen penyebab penyakit hawar daun sehingga perkembangan penyakit dapat terhambat. Pengendalian dengan menggunakan bakteri ini telah di aplikasikan di beberapa lokasi serangan  BLB / Kresek di DIY karena merupakan cara pengendalian yang murah, mudah dan aman terhadap lingkungan. Agensia hayati bakteri Paenibacillus polymyxa relatif mudah diperbanyak, dan pada saat ini sudah banyak dikembangbiakan oleh petani. Menurut Supriyana Ir, dkk,  efektifitas agensia hayati ini dalam pengendalian Hawar daun bakteri bisa mencapai 80 %.
Manfaaat Phaenibacillus polymyxa selain digunakan dalam menekan perkembangan serangan BLB / Kresek pada pertanaman padi, dapat juga digunakan sebagai inokulan tanah di lahan pertanian dan tanaman hortikultura. Menurut Wikipedia dalam jurnal yang berjudul Paenibacillus polymyxa, Biofilm Paenibacillus polymyxa tumbuh di akar tanaman dan telah terbukti menghasilkan exopolysaccharides yang melindungi tanaman dari patogen. Interaksi antara spesies bakteri ini dengan akar tanaman menyebabkan akar rambut mengalami perubahan fisik dan beberapa strain Paenibacillus polymyxa ini menghasilkan senyawa antibiotik polimiksin. Paenibacillus polymyxa adalah bakteri Gram-positif yang banyak ditemukan di dalam tanah, akar tanaman, dan sedimen laut.
Di beberapa wilayah yang terserang BLB / Kresek di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa pemicu serangan BLB / Kresek dapat disebabkan oleh faktor iklim. Seperti musim pancaroba atau peralihan musim kemarau ke musim penghujan atau sebaliknya. Namun dikarenakan adanya anomali iklim akhir-akhir ini, sehingga serangan BLB / Kresek hampir sepanjang tahun muncul dan berkembang. Hal ini didukung dengan adanya kelembaban pada struktur tanah yang memudahkan bakteri untuk berkembang. Pemakaian pupuk N yang berlebihan juga dapat menyebabkan muncul dan berkembangnya serangan BLB / Kresek karena kelebihan N dapat mematahkan system ketahanan pada tanaman. Di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY dan beberapa wilayah endemis serangan BLB / Kresek yang ada di luar pulau jawa menunjukkan hal yang sama pula. Atas dasar hal tersebut maka pemanfaatan Phaenibacillus polymyxa menjadi salah satu rekomendasi pengendalian untuk serangan BLB khususnya di DIY karena merupakan cara pengendalian yang murah, mudah dan aman terhadap lingkungan.

Sumber :
1. Maspary, 2012. Corynebacterium Padi Sehat Bebas Kresek.
2. Agung NK, 2012. PengendalianPenyakitKresekHawarDaun.
3. SupriyanaIr, dkk. 2013. Petunjuk Teknis Pengendalian Penyakit Hawar Daun Bakteri/BLB/Kresek. UPTD BPTP DinasPertanian DIY.
4. Formulasi Tepung Biofungisida Berbahan Aktif Ganda Pseudomonas Fluorescens PG 01 dan Bacillus Polymixa BG 25.
5. Paenibacillus polymyxa
6. Paenibacillus polymyxa. PMID 23113815
7. Serangan BLB dan OPT lain pada tanaman padi https://hartanto.wordpress.com/2008/12/20/pentingnya-memahami-pil/ Diakses 13 Oktober 2016

Senin, 05 Desember 2016

Rekayasa ekologi (Tanaman Refugia) untuk sistem produksi padi berkelanjutan dan tangguh

Ditulis: Rais Sulistyo Widiyatmoko, S.Si (Pengendali OPT Muda Dinas Pertanian DIY)
Beras  adalah makanan pokok utama untuk lebih dari sepertiga populasi dunia. Beras diproduksi dan dikonsumsi di Asia,  antara 40 sampai 46% dari semua lahan pertanian irigasi di Asia didedikasikan untuk memproduksi beras. Seperti diketahui populasi manusia di dunia terus bertambah dan ketersediaan lahan pertanian menurun, perkiraan bahwa dunia harus menghasilkan tambahan 115 juta ton beras pada 2035 untuk memenuhi permintaan peningkatan global. Ilmu pengetahuan dan kebijakan untuk mengawal produksi beras sejak awal milenium baru telah diterapkan, khususnya di Asia. Hal ini telah menyebabkan panggilan untuk investasi yang lebih besar dalam ilmu pengetahuan dan teknologi untuk pertanian padi, penekanan pada intensifikasi produksi padi dan pada penguatan kemitraan yang terlibat dalam produksi beras, penyediaan beras, dan pemasaran.
Kebijakan pertanian yang muncul pada abad ke-21 akan dilaksanakan di tengah-tengah perubahan global yang cepat dalam masyarakat dan perubahan lingkungan; termasuk anomali iklim seperti peningkatan suhu global dan frekuensi kejadian cuaca ekstrem, serta menurunnya keanekaragaman hayati dan mengikis fungsi ekosistem. Selanjutnya, mengingat ketidakstabilan ekonomi global, terutama sejak 2008 (ketika Dunia mengalami krisis pangan global dan krisis ekonomi pada saat yang sama),tuntutan untuk meningkatkan produksi pangan telah menyadarkan untuk lebih melibatkan sektor swasta dalam mengembangkan strategi dan ilmu pengetahuan. Akibatnya, skenario produksi saat ini bagi banyak petani padi lebih pada tuntutan untuk meningkatkan produktivitas. Di banyak daerah, ini telah memberikan kontribusi terhadap perubahan luar biasa dalam budidaya padi, khususnya di sistem sawah irigasi dataran rendah, dan sering mendorong petani melakukan metode intensifikasi. Tanpa regulasi yang tepat dari praktek pertanian dan terutama regulasi dalam sifat dan penggunaan input pertanian seperti pestisida, intensifikasi dapat menyebabkan kerawanan pangan global dan mengurangi efisiensi fungsi ekosistem padi.
Meningkatnya penggunaan insektisida dan konsekuensinya
Tren impor input pertanian ke negara-negara penghasil beras menunjukkan peningkatan yang berkelanjutan dalam ketersediaan dan penggunaan bahan kimia pertanian, termasuk pupuk dan pestisida, selama 50 tahun terakhir. Namun, antara tahun 1995 dan 2002, China dan India keduanya bergeser dari importir pestisida menjadi eksportir utama, karena kedua negara menginvestasikan anggaran dalam industri kimianya. Pada saat yang sama, impor pestisida ke beberapa negara Asia termasuk Bangladesh, Thailand, Indonesia dan Vietnam mulai tumbuh secara siknifikan (Gambar. 1.).  Insektisida kimia tersedia banyak dari impor. Dengan tersedianya  Insektisida yang tinggi dan kemajuan dalam strategi pemasaran telah mempromosikan secara efisien penggunaan insektisida untuk petani dan mendorong mereka untuk meningkatkan aplikasi. Salah satu strategi yang membuat tuntutan penggunaan pestisida tinggi yaitu dengan menekankan jadwal aplikasi pestisida secara profilaksis(pencegahan) dan langsung didistribusikan ke pengecer atau langsung ke petani. Peningkatan mendadak dalam penggunaan insektisida oleh petani padi dari awal tahun 2000-an, diperkirakan mendasari terjadinya peningkatan dari wabah hama, termasuk wereng (Homoptera: Delphacidae) di beberapa tempat seluruh Asia. Misalnya, diperkirakan bahwa sejak tahun 2000 China telah kehilangan sekitar 1 juta ton produksi padi setiap tahunnya karena serangan wereng; lebih dari 3 juta hektar padi rusak di Thailand antara 2009 dan 2011; dan diperkirakan 200.000 hektar padi hancur di Jawa Tengah (Indonesia) pada tahun 2011 saja (Horgan dan Stuart, data tidak dipublikasikan).
Gambar. 1. Nilai impor insektisida ke 10 negara Asia (US $ 1000 / Km2 dari luas lahan) antara
tahun 1960 dan 2010 (data dari FAO 2015).

Penggunaan profilaksis (aplikasi sebelum ada serangan) insektisida telah menciptakan beberapa ketidakseimbangan dalam ekosistem padi. Selama beberapa tahun terakir, para peneliti telah menemukan keterkaitan wabah serangga di sawah, khususnya wabah wereng, dengan terlalu sering menggunakan insectisida kimia. Hal ini terjadi dalam dua cara. Yang pertama dapat disebut kebangkitan sebagai fisiologis. kebangkitan fisiologis adalah hasil dari hormoligosis(stimulasi langsung reproduksi serangga), yang merupakan respon fisiologis dari serangga target pada racun kimia yang menghasilkan peningkatan kekebalan. Mekanisme yang mendasari hormoligosis (stimulasi langsung reproduksi serangga) belum dijelaskan; Namun, di wereng respon utama ditandai dengan fekunditas (kemampuan untuk bereproduksi) tinggi, meningkatkan kesuburan jantan dan betina, meningkatkan nafsu makan, dan Kapasitas penyebaran lebih luas. Faktor-faktor ini menyebabkan kepadatan wereng yang lebih tinggi dan meningkatkan kerusakan padi. Mekanisme kedua dapat disebut sebagai kemrosotan ekologi. Di sini, insektisida mengurangi keragaman, kelimpahan atau efisiensi komponen musuh alami dari ekosistem padi. Efek negatif insektisida pada musuh alami hama penting seperti wereng dan penggerek batang (Lepidoptera: Pyralidae) telah didata dan berdasarkan beberapa studi lapangan telah menunjukkan bagaimana insektisida memiliki efek negatif pada profitabilitas pertanian. Sedangkan bahan kimia tertentu yang diketahui menyebabkan kebangkitan fisiologis telah dilarang atau dibatasi untuk digunakan dalam pertanaman padi, sebagian besar bahan kimia masih akan memiliki potensi untuk menyebabkan kemrosotan ekologi. strategi baru sekitar pengelolaan hama diperlukan.
Kebutuhan masukan metode baru pada kesehatan ekosistem padi.
Beberapa dekade intensifikasi pertanian dan insektisida berlebihan telah mengakibatkan menipisnya populasi musuh alami, serta perkembangan populasi hama yang semakin resisten terhadap insektisida dan lebih ganas terhadap varieties padi. Selanjutnya, pada lahan pertanian skala global ada beberapa spesies fungsional penting seperti penyerbuk, pemangsa dan Amfibi, hampir punah bahkan ada yang sudah punah. sawah, terutama di daerah tropis, memiliki keragaman musuh alami yang lebih tinggi, sehingga memiliki jaring makanan yang kompleks. Interaksi jaring makanan diprediksi meningkatkan stabilitas dan ketahanan ekosistem padi. Sebaliknya, hilangnya keanekaragaman hayati, dan hilangnya layanan yang diberikan oleh fauna alami sawah, diperkirakan akan  mengurangi stabilitas ekosistem dan ketahanan; ini akan menyebabkan respon yang kurang efisien dan menyebabkan gangguan seperti kebangkitan fisiologis yang berhubungan dengan insektisida, atau kenaikan kepadatan hama.
Para ilmuwan saat ini menghadapi tantangan peningkatan ketahanan pangan (termasuk produksi pangan, kualitas makanan dan keamanan pangan) sementara pada saat yang sama berhadapan dengan ketidakpastian iklim yang membutuhkan ekosistem tangguh, dan kebutuhan untuk melestarikan atau mengembalikan keanekaragaman hayati dan mengoptimalkan fungsi ekosistem. Pengelolaan Hama berbasis ekologi adalah salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut pada saat yang bersamaan memulihkan ekologi padi. Untuk mencapai ekosistem padi yang efisien, peneliti perlu fokus pada 'kesehatan ekosistem padi' di mana pestisida dianggap sebagai kontaminan lingkungan yang harus dihindari sebisa mungkin. Selanjutnya, regulasi musuh alami harus dioptimalkan dan jaring makanan dilindungi dan ditingkatkan dengan menciptakan kondisi keanekaragaman hayati dan kompleksitas interaksi interspesifik. Salah satu pendekatan untuk mencapai ini adalah metode ekologi
Rekayasa ekologi untuk kesehatan ekosistem padi
Rekayasa ekologi adalah manipulasi yang disengaja pada habitat untuk kepentingan masyarakat dan lingkungan. Metode ini berbasis pengetahuan dan membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang dampak positif dan negatif sebelum pelaksanaan. rekayasa ekologi untuk pengelolaan hama terutama berfokus pada peningkatan kelimpahan, keragaman dan fungsi musuh alami di habitat pertanian dengan menyediakan perlindungan dan alternatif atau tambahan sumber makanan. Contoh dari sistem produksi tanaman lain di mana metode ini telah berhasil diterapkan untuk pengendalian hama. Misalnya, penanaman buckweed, Fagopyrum esculentum Moench, sebagai tanaman penutup di kebun anggur dan Alyssum, Lobularia maritima (L) Desv., Antara deretan sayuran menyediakan sumber daya makanan untuk predator dan parasitoid sehingga kerusakan yang diakibatkan oleh hama berkurang.
Literatur awal rekayasa ekologi untuk pengendalian hama padi sebagian besar difokuskan pada mengintegrasikan bunga atau sayuran berjajar pada areal padi.
beberapa kriteria cocok tanaman yang  digunakan dalam rekayasa ekologi adalah :
  • Tanaman harus tumbuh dari biji dengan tidak perlu semai.
  • Tanaman harus cepat-tumbuh, mampu bersaing dengan gulma, dan membutuhkan perhatian minimum atau perawatan.
  • Tanaman harus awal-berbunga.
  • Tanaman harus memiliki buah atau struktur vegetatif yang memiliki beberapa nilai untuk petani, baik untuk komersial atau pribadi konsumsi / penggunaan.
  • Tanaman harus memiliki produksi yang baik.
  • Tanaman harus mengusir atau sebaliknya tidak menguntungkan bagi serangga hama padi.
  • Tanaman harus menarik arthropoda menguntungkan baik sebagai tempat perlindungan atau sumber nektar atau serbuk sari.

Finbarr G. Horgan et al. / Procedia Food Science 6 (2016) dalam journalnya yang berjudul “Applying ecological engineering for sustainable and resilient rice production systems” telah menguji coba potensi untuk 13 tanaman untuk digunakan dalam rekayasa ekolologi yaitu labu pahit, kacang hijau, ladyfinger (okra), kacang panjang, Cabai (Capsicum sp.), Kosmos (kenikir sayur) (Cosmos bipinnatus), kacang buncis (Vigna unguiculata L.), mentimun (Cucumis sativus L.), gambas ( Luffa sp.), labu (Cucurbita sp.), bunga matahari (Helianthus annuus L.), botol labu (Lagenaria siceraria Standl.) dan kecipir (Psophocarpus tetragonolobus [L.] de Candolle). tanaman ini ditanam di enam lokasi di pematang direplikasi dan dipantau selama pengembangan tanaman padi. Tanaman ini kemudian dikenal dengan tanaman refugia. Refugia merupakan suatu area yang ditumbuhi beberapa jenis tumbuhan yang dapat menyediakan tempat perlindungan, sumber pakan atau sumberdaya yang lain bagi musuh alami seperti predator dan parasitoid. Setelah diamati ternyata tanaman refugia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami dan penyerbuk dengan mentimun, labu, gambas, dan labu pahit menarik sejumlah besar baik penyerbuk dan menguntungkan tawon parasitoid. Sistem ini juga memiliki kelimpahan yang lebih tinggi dan peningkatan aktivitas burung pemakan serangga. Selain itu, banyak dari tanaman, termasuk mentimun, kacang hijau, botol labu, kacang panjang, gambas, Cabai, dan ladyfinger memproduksi sejumlah besar buah-buahan yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Insektisida yang digunakan di sawah rekayasa ekologis mengindikasikan jumlah aplikasi insektisida berkurang 75% dibandingkan dengan perlakuan kontrol petani. Meskipun demikian, lahan petani dan lahan rekayasa ekologi memiliki hasil panen padi serupa tetapi pada lahan rekayasa ekologi tersimpan US $ 150 / ha untuk insektisida dan memperoleh US $ 120 / ha dari buah buahan sayuran yang dihasilkan pada tanaman refugia tersebut. studi lapangan serupa telah dilakukan di Thailand, dan Vietnam menggunakan strip bunga. Hasil awal dari penelitian tersebut menunjukkan manfaat yang sama dengan populasi musuh alami.

Gambar. 2. keanekaragaman vegetasi yang Tinggi pada usahatani padi di Mindanao, Filipina

Gambar 3. Beberapa contoh pengembangan tanaman refugia di D.I. Yogyakarta
Arah baru dalam penelitian diperlukan untuk menciptakan ekosistem padi yang sehat. ekosistem yang sehat menganggap pestisida sebagai kontaminan dibuktikan dari hasil penelitian yang telah diidentifikasi sebagai penggerak potensi kebangkitan hama. ekosistem padi sehat menghindari bahan kimia berbahaya tetapi juga meningkatkan keanekaragaman fungsional dari daerah sawah untuk menarik organisme bermanfaat seperti penyerbuk dan arthropoda (parasitoid dan laba-laba) dan vertebrata (burung) musuh alami hama. Dengan meningkatkan keanekaragaman hayati di sawah dan meningkatkan interaksi interspesifik antara spesies komponen dalam ekosistem padi, agroekologi dan rekayasa ekologi diprediksi meningkatkan keberlanjutan dan ketahanan sistem terhadap gangguan - termasuk peningkatan mendadak kepadatan hama.

Sumber :
  1. Bouman B. ‘Talking rice’ at the food security summit. http://irri.org/index.php?option=com_zoo&view=item&layout=item&Itemid=1135 (accessed 30 November 2015)
  2. International Rice Research Institute. Preventing planthopper outbreaks in rice. http://irri.org/resources/publications/brochures/preventing-planthopper-outbreaks-in-rice (accessed 14 September 2015)
  3. Finbarr G. Horgan et al. / Procedia Food Science 6 (2016) dalam journalnya yang berjudul “Applying ecological engineering for sustainable and resilient rice production systems

Selasa, 15 November 2016

Perangkap Likat Kuning (yellow sticky trap) Teknologi Pengendalian OPT Cabai Ramah Lingkungan

Ditulis Oleh :  Rais Sulistyo Widiyatmoko, S.Si (Pengendali OPT Muda Dinas Pertanian DIY)

Cabai merah (Capsicum annum) merupakan salah satu komoditas sayuran yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Gangguan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) merupakan salah satu kendala yang dihadapi petani dalam usahatani Cabai. Untuk menyelamatkan tanamanya tidak jarang petani menerapkan berbagai teknologi budidaya yang sebetulnya tidak sesuai dengan ketentuan yang telah dianjurkan, misalnya dalam pengunaan pupuk, pestisida  dan bahan kimia lainnya.

Sebagai upaya dalam mengatasi masalah OPT tanaman Cabai, umumnya petani menekankan pada pengendalian secara kimiawi. Penggunaan pestisida  yang tidak sesuai dengan ketentuan yang dianjurkan, selain dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, penggunaan pestisida secara intensif juga menyebabkan biaya produksi tinggi.
Dalam pengembangan agribisnis sayuran, penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) masih relatif terbatas pada sebagian kecil komoditas sayuran prioritas. Dalam penerapannya, pendekatan ekologi lebih mendominasi dalam menentukan alternatif pengendalian OPT. Agar dapat memberikan keuntungan maksimal bagi petani, maka pendekatan ekonomi juga diperlukan untuk menentukan pemilihan suatu Teknologi. Pendekatan tersebut tidak bisa diterapkan secara parsial, karena ada  kemungkinan melalui pendekatan ekologi saja belum tentu  akan memberikan hasil yang sesuai dengan keuntungan ekonomi, demikian pula sebaliknya.

Rabu, 02 November 2016

Residu Pestisida pada Produk Pertanian

Oleh: Maftuchatul Chaeriyah (PMHP Muda Dinas Pertanian DIY)

Pestisida secara harfiah dapat diartikan sebagai zat kimia atau bahan lain yang digunakan untuk membasmi hama (pest). Pestisida merupakan salah satu cara untuk melawan OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan). Pestisida yang digunakan sebagian akan mengenai sasaran, mengenai tanaman, terbawa oleh angin dan sebagian lainnya akan jatuh ke tanah dan air mencemari lingkungan.  Dengan berlalunya waktu, sebagian pestisida akan menguap ke udara dan sebagian lagi akan terurai karena pengaruh cahaya, kelembaban, enzim dan jasad renik. Disamping itu sebagian akan tersisa pada hasil panen maupun lingkungan. Pestisida yang tersisa itulah yang disebut residu pestisida.
Untuk keselamatan konsumen, residu suatu pestisida pada bahan makanan tidak boleh melebihi batas tertentu. Batas ini dinamakan Batas Maksimum Residu (BMR).
Berdasarkan struktur kimianya, pestisida terbagi kedalam 4 golongan
1. Golongan Organofosfat
 Struktur kimia insektisida organofosfat merupakan derivat dari asam fosfat (H3PO4)
2. Golongan Karbamat
 Struktur kimia insektisida karbamat merupakan derivat dari asam karbamat.
3. Golongan Organoklorin
 Sesuai nama yang diberikan, insektisida organoklor mengandung unsur klor dalam struktur molekulnya. Tetapi ingat tidak semua insektisida yang mengandung   unsur klor dalam unsur kimianya digolongkan kedalam insektisida organoklor seperti klorpirifos.
Karena reaksi biokimianya sama seperti reaksi biokimia insektisida organofosfat, yaitu menghambat reaksi biokimia enzim asetil-kolenesterase.

Pestisida Kadaluarsa???

Oleh: Maftuchatul Chaeriyah (PMHP Muda Dinas Pertanian DIY)

Beberapa waktu yang lalu masyarakat sempat dibingungkan dengan berita penggunaan pestisida kadaluarsa.  Sebenarnya adakah masa kadaluarsa pada produk pestisida? dan apakah pestisida yang sudah kadaluarsa tidak dapat digunakan atau tidak efektif lagi untuk pengendalian OPT?
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 39/Permentan/SR.330/7/2015 tentang Pendaftaran Pestisida, pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk :
  1. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit yang dapat merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian;
  2. Memberantas rerumputan;
  3. Mematkan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan;
  4. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tdak termasuk pupuk;
  5. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan ternak;
  6. Memberantas atau mencegah hama-hama air;
  7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang atau jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan; dan / atau
  8. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang  dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air.

Analisis Residu Pestisida pada Produk Pertanian

Oleh: Maftuchatul Chaeriyah (PMHP Muda Dinas Pertanian DIY)

Pengendalian OPT dengan pestisida masih banyak dilakukan oleh petani karena mempunyai daya bunuh yang tinggi, penggunaanya mudah dan hasilnya dapat dilihat dalam waktu singkat.
Penggunaan atau aplikasi pestisida kimia pada budidaya tanaman menimbulkan pertanyaan apakah pada produk masih tersisa pestisida atau yang biasa disebut residu pestisida.  Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan pengujian atau analisis di laboratorium.  Analisis residu pestisida bisa dilakukan dengan instrument GC (Gas Chromatography), GC MS (Gas Chromatography Mass Spectrometry), LCMS (Liquid Chromatography Mass Spectrometry) atau HPLC (High Performance Liquid Chromatography) sesuai dengan kebutuhan analisis.
Permasalahan yang sering dihadapi pada analisis residu pestisida pada produk pertanian, antara lain :
  1. Campuran senyawa turunan pestisida yandiaplikasikan dalam matrik sampel yang kompleks, sehingga penggunaan metode harus selektif dan spesifik;
  2. BMR (Batas Maksimum Residu) pestisida dalam kisaran µg/kg – mg/ kg (analisis kelumit), sehingga metode analisis harus sensitif;
  3. Data hasil analisis harus mencerminkan kadar residu yang sesungguhnya; sehingga metode analisis harus memberi data akurasi dan presisi tinggi (valid dan handal).

Rabu, 26 Oktober 2016

Sumur Bor di Brengosan Ngaglik Sleman, Antisipasi Dampak Perubahan Iklim di Musim Kemarau


Oleh : DAA. Pertiwi (POPT Ahli Muda Dinas Pertanian DIY)

Antisipasi dampak perubahan iklim yang terjadi pada musim kemarau sangatlah penting dilakukan, salah satu diantaranya adalah peningkatan kemampuan sumber daya manusia dalam pemahaman perubahan iklim serta penerapan teknologi adaptasi/mitigasi perubahan iklim.

Sebagai bentuk upaya dalam menyikapi kondisi alam tersebut diperlukan pengembangan upaya antisipasi dampak perubahan iklim terhadap ketahanan tanaman karena tanaman yang paling rentan terhadap perubahan iklim ekstrem. Beberapa hal yang berkaitan dengan antisipasi yang penting dilakukan adalah pengembangan infrastruktur terutama jaringan irigasi. Irigasi adalah upaya menyediakan, mengatur dan membuang air untuk menunjang pertanian. Jenis irigasi meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa dan irigasi tambak. Sistim irigasi ini bertujuan untuk mempermudah dalam pengairan lahan pertanian karena air merupakan salah satu faktor penting bagi para petani untuk mewujudkan hasil panen yang melimpah. Sulitnya air di musim kemarau yang panjang membuat saluran irigasi menjadi berkurang yang berakibat banyaknya sawah yang tidak teraliri air. Bahkan tidak sedikit para petani yang rela menunggu berjam-jam untuk mendapatkan air demi kelancaran irigasi lahan pertaniannya.
Keterbatasan air pada musim kemarau yang panjang, rupanya tidak menghambat kelompok tani Ngudi Rejeki Brengosan, Donoharjo, Ngaglik, Sleman untuk menanam padi. Keterbatasan itu justru memacu mereka untuk memikirkan cara agar sawah dan ladang mereka tetap terairi dengan baik pada musim kemarau yang panjang. Karena pada saat kemarau yang panjang, di beberapa wilayah tersebut mengalami pengurangan debit air irigasi sehingga banyak areal persawahan yang kekurangan air. Kelompok tani Ngudi Rejeki bekerja sama dengan Balai Proteksi Tanaman Pertanian DIY, kemudian menggunakan alternatif pengairan dengan menggunakan sumur bor. Meskipun lahan persawahan di sekitar kelompok tani sebagian besar tanah berbatu yang besar namun tidak menyurutkan untuk membuat fasilitasi berupa sumur bor di tengah lahan persawahan milik petani setempat.

Senin, 10 Oktober 2016

Irigasi Pipa Sederhana Pada Tanaman Cabe

Oleh : DAA. Pertiwi
(POPT Ahli Muda Dinas Pertanian DIY)

Dewasa ini peningkatan pertumbuhan industri dan berkurangnya luas hutan menyebabkan melimpahnya Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer yang berakibat terjadinya pemanasan global. Pemanasan global ini berdampak pada perubahan iklim di seluruh belahan bumi yang ditandai dengan peningkatan suhu udara, kenaikan muka air laut, pergeseran musim, dan juga perubahan pola iklim ekstrem seperti El Nino dan La Nina.

Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat rentan dengan terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim ini mengancam ketahanan pangan di seluruh negara di dunia. Bagaimana tidak? Secara teknis, kerentanan tanaman sangat berhubungan dengan penggunaan lahan, pola tanam, teknologi pengelolaan tanah, air dan varietas. Oleh sebab itu akan berimbas pada luas areal tanam, luas panen, produktivitas dan kualitas hasil.

Minggu, 05 Juni 2016

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA RAMADHAN 1437H




waktu begitu cepat berlalu,
tak terasa satu tahun tlah terlewatkan,
kami hanyalah insan biasa yang tak luput dari khilaf dan salah,
untuk menyambut bulan yang penuh mubarakah ini mari kita saling memaafkan lahir dan bathin, amieen..

kami selaku admin mengucapkan
Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan 1437 H
bagi yang menjalankan dan semoga Allah menggolongkan kita kedalam golongan orang bertakwa

Jumat, 03 Juni 2016

MENGENAL HAMA DAN PENYAKIT UTAMA PADA TANAMAN CABAI





HAMA UTAMA TANAMAN CABAI

Thrips
Hama thrips (Thrips Sp.) sudah tidak asing lagi bagi para petani cabai. Hama thrips tergolong sebagai pemangsa segala jenis tanaman, jadi serangan bukan hanya pada tanaman cabai saja. Panjang tubuh sekitar + 1 mm, serangga ini tergolong sangat kecil namun masih bisa dilihat dengan mata telanjang. Thrips biasanya menyerang bagian daun muda dan bunga . Gejala serangan hama ini adalah adanya strip-strip pada daun dan berwarna keperakan. Noda keperakan itu tidak lain akibat adanya luka dari cara makan hama thrips. Kemudian noda tersebut akan berubah warna menjadi coklat muda. Yang paling membahayakan dari thrips adalah selain sebagai hama perusak juga sebagai carrier atau pembawa bibit penyakit (berupa virus) pada tanaman cabai. Untuk itu, bila mengendalikan hama thrips, tidak hanya memberantas dari serangan hama namun juga bisa mencegah penyebaran penyakit akibat virus yang dibawanya.

Pengendalian secara kultur teknis maupun kimiawi. Kultur teknis dengan pergiliran tanaman atau tidak menanam cabai secara bertahap sepanjang musim. Selain itu dapat menggunakan perangkap kuning yang dilapisi lem. Pengendalian kimia bisa dilakukan dengan penyemprotan insektisida Winder 25 WP konsentrasi 0,25 - 0,5 gr /liter atau insektisida cair Winder 100EC konsenstrasi 0.5 - 1 cc/L.

Tungau (Mite)

Hama mite selain menyerang jeruk dan apel juga menyerang tanaman cabai. Tungau bersifat parasit yang merusak daun, batang maupun buah sehingga dapat mengakibatkan perubahan warna dan bentuk. Pada tanaman cabai. Tungau menghisap cairan daun sehingga warna daun terutama pada bagian bawah menjadi berwarna kuning kemerahan, daun akan menggulung ke bawah dan akibatnya pucuk mengering yang akhirnya menyebabkan daun rontok. Tungau berukuran sangat kecil dengan panjang badan sekitar 0,5 mm, berkulit lunak dengan kerangka chitin. Seperti halnya thrips, hama ini juga berpotensi sebagai pembawa virus.


Kutu (Myzus persicae)

Aphids merupakan hama yang dapat merusak tanaman cabai. Serangannya hampir sama dengan tungau namun akibat cairan dari daun yang dihisapnya menyebabkan daun melengkung ke atas, keriting dan belang-belang hingga akhirnya dapat menyebabkan kerontokan. Tidak sepeti mite, kutu ini memiliki kemampuan berkembang biak dengan cepat karena selain dapat memperbanyak dengan perkawinan biasa, hama ini juga mampu bertelur tanpa pembuahan.


Lalat Buah (Bactrocera cucurbitae)

Kehadiran lalat buah ini, dapat menjadi hama perusak tanaman cabai. Buah cabai yang menunggu panen bisa menjadi santapannya dalam sekejap dengan cara menusukkan ovipositornya pada buah serta meletakkan telur, menetas menjadi larva yang kemudian merusak buah cabai dari dalam.

Pengendalian kultur teknis dapat dilakukan dengan membuat perangkap dari botol bekas air mineral yang di dalamnya diberi umpan berupa Atraktan Lalat Buah (ATLABU) keluaran Balai Penelitian Obat dan Aromatik. Selain itu dapat juga digunakan perangkap kuning seperti yang dilakukan pada hama thrips. Karena umumnya serangga-serangga tersebut sangat menyukai warna-warna mencolok.

Ulat Grayak (Spodoptera litura)

Ulat ini saat memasuki stadia larva, termasuk hewan yang sangat rakus. Hanya dalam waktu yang tidak lama, daun-daun cabai bisa rusak. Ulat setelah dewasa berubah menjadi sejenis ngengat akan memakan daun-daunan pada masa larva untuk menunjang perkembangan metamorfosisnya.



PENYAKIT UTAMA TANAMAN CABAI

Antracnose
Penyakit Antracnose dikenal juga dengan istilah “pathek” adalah penyakit yang hingga saat ini masih menjadi momok bagi petani cabai. Buah yang menunggu panen dalam beberapa waktu berubah menjadi busuk oleh penyakit ini. Gejala awal dari serangan penyakit ini adalah bercak yang agak mengkilap, sedikit terbenam dan berair, buah akan berubah menjadi coklat kehitaman dan membusuk. Ledakan penyakit ini sangat cepat pada musim hujan. Penyebab penyakit ini adalah jamur Colletotrichum capsici.

Pengendalian membersikan tanaman yang terserang agar tidak menyebar, saat pemilihan benih harus kita lakukan secara selektif, menanam benih cabai yang memiliki ketahanan terhadap penyakit pathek.

Layu Bakteri
Penyakit ini disebabkan oleh Pseudomonas solanacearum. Gejalanya tanaman yang sehat tiba-tiba saja layu yang dalam waktu tidak sampai 3 hari tanaman mati. Bakteri ini ditularkan melalui tanah, benih, bibit, sisa tanaman, pengairan,nematoda atau alat-alat pertanian.

Pengendalian membuang tanaman yang terserang, tetap menjaga bedengan tanaman selalu dalam kondisi kering, rotasi tanaman. 

Virus Kuning (gemini virus)
Vektor virus kuning adalah whitefly atau kutu kebul (Bemisia tabaci). Telur diletakkan di bawah daun, fase telur hanya 7 hari. Nimpa bertungkai yang berfungsi untuk merangkak lama hidup 2-6 hari. Pupa berbentuk oval, agak pipih berwarna hijau keputih-putihan sampai kekuning-kuningan pupa terdapat dibawah permukaan daun, lama hidup 6 hari. Serangga dewasa berukuran kecil, berwarna putih dan mudah diamati karena dibawah permukaan daun yang bertepung, lama hidup 20-38 hari. Tanaman yang terserang penyakit virus kuning menimbulkan gejala daun mengeriting dan ukuran lebih kecil.

Pengendalian dilakukan dengan menanam varietas yang agak tahan (contoh cabai keriting Bukittinggi), menggunakan bibit yang sehat, melakukan rotasi /pergiliran tanaman, pemanfaatan tanaman border seperti tagetes atau jagung, pemasangan perangkap kuning sekaligus mengendalikan kutu kebul, serta eradikasi tanaman sakit yaitu tanaman yang menunjukkan gejala dicabut dan dibakar.

Kamis, 02 Juni 2016

PENGARUH INFESTASI ATAU SERANGAN OPT TERHADAP KEHILANGAN HASIL PADA BEBERAPA VARIETAS PADI

 sumber: BBPOPT Jatisari
kelhasdpnOrganisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) adalah merupakan salah satu penghambat dalam budidaya tanaman padi, dengan jumlah populasi dan tingkat serangan yang terjadi setiap saat, dapat mengganggu stabilitas ketahanan pangan di Indonesia, pada akhir-akhir ini yaitu tahun 2010 dan awal 2011 banyak dilaporkan terjadi serangan OPT yang cukup luas.
Beberapa OPT diantaranya adalah Penggerek Batang Padi (PBP), Wereng Batang Coklat (WBC), Tikus, hama putih palsu, Ganjur, Siput murbey dan beberapa penyakit utama adalah merupakan OPT utama tanaman padi yang mempunyai karakteristik yang berbeda dilapangan termasuk kebutuhan lingkungan yang mempengaruhi perkembangannya. Kejadian dilapangan banyak terjadi kasus serangan atau terjadinya peningkatan kepadatan populasi pada suatu lokasi, biasanya apabila populasi atau serangan OPT dominan pada suatu lokasi sudah muncul, maka ada kecenderungan OPT lainnya tidak berkembang,   selain itu juga keadaan populasi atau serangan pada lokasi satu dan lokasi lainnya sering terjadi perbedaan, penanaman jenis varietas padi juga berpengaruh terhadap perkembangan OPT. Katagori serangan sebagai batasan untuk menilai tingkat serangan yang sudah ada dan selama ini dipakai oleh petugas lapangan yaitu katagori serangan ringan (R), berkisar 0 – 25 %. Sedang ( S) berkisar 26 – 50 %, Berat berkisar 50 - 75 (%), dan Puso (P) diatas 85 %. Dari tingkat serangan tersebut sejauh mana pengaruhnya terhadap kehilangan hasil. Dengan melaksanakan kegiatan Pengaruh Infestasi atau Serangan OPT Terhadap Kehilangan Hasil Pada Beberapa Varietas Padi, melalaui beberapa metode, diantaranya melakukan pengamatan perkembangan beberapa OPT Utama dari mulai populasi awal sampai dengan tingkat serangnya, selain itu juga mengamati beberapa faktor yang mempengaruhinya dilapangan (musuh alami), kajian ini diharapkan bisa memperoleh gambaran tentang perkembangan OPT pada beberapa varietas, termasuk hubungan korelasi OPT dengan kehilangan hasil.
 .
kelhas1
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
kelhas2
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

.





Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh katagori serangan OPT terhadap kehilangan hasil, adapun sasarannya adalah Diketahuinya pengaruh katagori serangan OPT terhadap kehilangan hasil. dilaksanakan di wilayah Kabupaten Subang dan Karawang yang mempunyai waktu tanam relatif sama, waktu pelaksanaan di lapangan sekitar bulan Maret – Nopember 2011, Metode pengamatan adalah cara visual dilakukan mulai stadia anakan maksimal, Primiordia /bunting, pengisian, masak susu dan padi kuning, serta pengambilan sampel panen sebanyak 9 rumpun tiap hamparan untuk masing-masing varietas di 18 hamparan. Sebagai pembanding juga pengambilan sampel dilakukan pada lokasi serangan OPT Utama di luar lokasi kegiatan. Prosesing panen dilakukan di laboratorium. Adapun hasil kegiatan tersebut adalah :
  1. Serangan PBP pada lokasi kegiatan umur tanaman 6 – 12 mst intensitas yang terjadi sangat rendah tetapi pada saat panen intensitas tersebut meningkat dengan intensitas tertinggi mencapai 25.97 %
  2. Hasil pengamatan dan pengambilan sampel di luar lokasi kegiatan intensitas serangan sangat bervariasi berkisar 0.00 – 100 % rata rata ( 40.5 %)
  3. Populasi WBC dari semua lokasi dan varietas keadaan populasinya sangat rendah, kecuali pada umur 6 dan 8 mst, dijumpai populasi mencapai 15.87 ekor/rpn, namun keadaan tersebut segera dikendalikan.
  4. Hasil pengamatan diluar lokasi kegiatan dijumpai tanaman padi dengan populasi dan serangannya cukup tinggi pada varietas ciherang.
  5. Pengaruh serangan WBC terhadap kehilangan hasil dapat diestimasiy = 19.69ln(x) + 6.042 R² = 0.73 dimana Y adalah Kehilangan hasil (%) dan X adalah Intensitas serangan WBC (%).
  6. Presen kehilangan hasil oleh serangan WBC dimulai pada serangan 0.8 % dengan kehilangan hasil 1.65 %, selanjutnya serangan > 1 – 25 ( R ) dengan kehilangan hasil 53.63 %. Serangan >25- 50 % ( S ) 77.30 %, serangan > 50 – 90 % (B) sebesar 89.56 % dan Serangan >90 % (Puso) dengan kehilangan hasil sebesar 95.80 %.
  7. Pengaruh serangan PBP terhadap kehilangan hasil dapat diestimasiy = y = -0.053x + 5.346 R² = 0.538 dimana Y adalah Kehilangan hasil (%) dan X adalah Intensitas serangan PBP (%).
  8. Presen kehilangan hasil oleh serangan PBP > 1 – 25 ( R ) dengan kehilangan hasil 12.95 %. Serangan >25- 50 % ( S ) 37.72 %, serangan > 50 – 90 % (B) sebesar 69.91 % dan Serangan >90 % (Puso) dengan kehilangan hasil sebesar 94.7 %.

Situs Terkait

___________________________________

___________________________________

Anda Pengunjung ke

Mari Ngobrol

Diberdayakan oleh Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...